TERJEMAHAN

Selasa, 16 Agustus 2016

ANDAI BUNG KARNO HIDUP LAGI



Saya sungguh malu mendengar orang-orang mematrikan stereotype pada negeri tercinta ini. “Negara gagal,” “negeri autopilot,” “negara korporatokrat,” “negeri para bandit,” “negara para maling,” dan entah sebutan apalagi. Andai Bung Karno hidup kembali, dia akan marah besar karena negerinya amburadul justru oleh kelakuan anak bangsanya sendiri. Bung Karno betul, hidup kita sekarang lebih sulit bahkan teramat sulit dibandingkan dengan masa dulu sebelum merdeka. Bukan karena kita harus bertarung dengan senapan dan pelatuk para penjajah, melainkan kita harus berhadapan dengan sesama anak negeri yang berkhianat menjadi para penjarah.
Saya yakin, Indonesia adalah bangsa besar. Kekayaan alamnya masih melimpah meski sudah dikuras habis-habisan. Tanahnya tetap subur meski mulai digantikan gedung-gedung pencakar langit. Hutannya tetap menjadi rumah perlindungan meski para pembalak liar terus-menerus menebang pepohonan yang ada di dalamnya. Lautnya setia menjadi sumber penghidupan meski tangan-tangan tak bertanggung jawab saban hari merusak karang dan ekosistemnya. Seandainya kita dapat bersahabat dengannya, kita tidak perlu repot-repot mencukupi kebutuhan hidup. Seperti Bung Karno pernah singgung, “...semua negara besar dunia (akan) iri dengan Indonesia.”
Sekarang kebesaran Indonesia itu telah mengundang negara-negara lain untuk datang, melihat, mengintip dan melahap bahkan memperkosa kekayaan di dalamnya. Banjir investasi asing terjadi hampir di semua sektor. Contoh paling telanjang ada di bidang minyak, gas, dan pertambangan. 95 persen sektor migas dikuasai korporasi asing, pertambangan 90 persen, yang lain anda hitung sendiri. Ironis! Bangsanya besar, omongnya besar!  Tanahnya subur, impornya menjamur ! Impor beras! Impor garam! Impor daging! Impor agama! yang terakhir kita impor dari timur tengah. Huuhh..Sebuah bangsa besar ternyata tidak serta merta bisa mengolah karunia Tuhan yang diberikan kepadanya.
Padahal kita yakin, penduduk kita yang lebih dari 250 juta jiwa itu tidak mungkin goblok semua. Mentallah akar masalanya. Kita bangsa besar tapi mentalnya mental tempe. Kita lebih suka makan keju hasil mengutang daripada makan singkong hasil menanam sendiri. Kita lebih sudi angkut bahan-bahan mentah ke negara lain kemudian menikmatinya setelah barang jadi, meski lebih mahal berkali-kali lipat. Kita lebih senang bekerja untuk perusahaan-perusahaan asing karena lebih bisa memanjakan diri daripada bersusah payah tapi merdeka mengolah kekayaan kita. Kita lebih rela menjadi budak di tanah sendiri.
Bung Karno, Anda pernah mengatakan, “beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncang dunia.” Sekarang, bagunlah, Bung lihat, jutaan pemuda pun tidak cukup mengangkat negeri ke zaman gilang-gemilang. Bung harus merevisi kata-kata bung itu! Memang banyak pemuda hebat tapi mereka sibuk bekerja untuk diri sendiri, membangun kerajaannya sendiri, dan membangun surganya sendiri. Yang lain malah sibuk mengumbar tubuh dan syahwat. Tak peduli nilai-nilai agama runtuh, tak peduli etika dan adat lenyap, tak peduli otak anak-anak dan remaja konslet. Pemuda yang Bung maksud kini lebih suka hiburan daripada berkorban demi kemanusiaan.
Memang, tidak terkira juga jumlah pemuda yang teriak anti-imperialisme. Sayang, setelah berhasil menaiki kursi jabatan, mereka mengidap amnesia akut bahkan balik memeras si empunya kursi, yaitu rakyat. Mereka sibuk menumpuk harta, utamanya untuk diri sendiri, keluarga dan kroni-kroninya. Sebagian mencoleng, mencopet, dan mencuri uang negara tanpa rasa malu dan secara elegan memampang senyum manis di depan kamera. Bagaimana mereka akan mengguncang dunia, untuk menambah pundi-pundi dan kemewahan mereka saja tidak cukup satu kali masa jabatan; bagaimana mereka disegani masyarakat sejagat jika di negerinya sendiri mereka menjadi benalu kemajuan.
Namun, jika sepuluh pemuda itu adalah pemuda yang membuat negara bodoh dan memalukan, bisa dideret contoh sedemikian panjang. Cukup dengan Gayus Tambunan, kasus tukang tilep di jagat perpajakan terkenal menerobos media Internasional. Cukup dengan Nazarudin, operasi sistemik korupsi tersohor ke seantero bumi. Cukup pula dengan aktivis-aktivis 98 yang berbondong-bondong masuk parlemen/kabinet, kemudian menjadi politisi keras kepala dan tameng partainya masing-masing. Memang, yang ini tidak mengguncang dunia, tapi sudah pasti mengguncang hati nurani rakyat.
Bung Karno, kita mengerti, kata-kata Bung soal pemuda itu untuk membangkitkan semangat dan harapan. Namun kini, harapan itu mati! Penyambung lidah rakyat, redup, bisu dan padam. Semua tergantung situasi politik. Saat menguntungkan, mereka lantang sampai urat leher hendak putus, tapi, jika kalkulasi politik merugikan, mereka teguh pada pepatah: diam itu emas.
Betul, Bung telah katakan, “barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam.” Tapi bagi pemuda sekarang, mutiara itu adalah kenikmatan duniawi semacam harta, popularitas dan jabatan. Jalannya bukan dengan berani berkorban demi negara tercinta tetapi bekerja keras membangun relasi dan merebut simpati demi kekuasaan. Karena dengan berkuasa semua mudah dikendalikan, termasuk mengatur lalu lintas uang pemasukan.
Andai Bung hidup lagi, dijamin geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah polah para pemuda semacam itu. Tak menyangka negeri yang dulu dihuni para sejawatnya yang sederhana kini dipenuhi para politisi parlente, penuh gaya dan haus kedudukan. Semua dibungkus bukan oleh ideologi melainkan imagologi. Demi citra semua dilakukan. Lembaga, media, bahkan rakyat dijadikan mesin-mesin politik yang tujuannya hanya satu: penguasaan opini publik.
Bung, Anda sendiri mengatakan, persatuan obat mujarab kehancuran. Artinya, semua orang yang mengaku Indonesia, entah dari mana asalnya, etniknya, agamanya, partainya, atau kelompok sosialnya, dia harus tunduk pada doktrin: Bhineka Tunggal Ika. Baju boleh beda tapi jiwa harus tetap sama: satu bangsa.
Tapi, seperti Bung katakan, “kita masih hidup dimasa pancaroba,” gampang terjangkiti penyakit fragmentasi. Bangsa yang susah payah dibangun malah menjadi arena adu jotos kepentingan. Kelompok-kelompok bermunculan memecah imajinasi sebagai sebuah bangsa. Berbagai kelompok sibuk menghitung kontribusinya, sembari alpa akan peran kelompok lainnya. Konon, bagi kelompok yang satu, bangsa berdiri berkat kelompoknya, bukan kelompok yang lain. Kelompok bahlul ini tidak mengerti bahwa Bhineka Tunggal Ika berakar pada keikhlasan setiap kelompok untuk mengenyampingkan sebagian kepentingannya demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kesatuan bangsa.
Tentu, sebagai anak bangsa, kita harus menjaga jangan sampai bangsa ini bangkrut. Semua entitas bangsa harus menyadari bahwa semua perjuangan harus ditujukan untuk kemakmuran rakyat. “Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita belum selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat,” begitu kata Bung Karno.
Dan, andai Bung Karno hidup kembali, dijamin sedih bukan kepalang, karena tangis di gubuk-gubuk itu masih terdengar nyaring, nyata dan kasat di mata.
14 Dulzaidah 1437 H / 17 Agustus 2016

0 komentar:

Posting Komentar