Saya sungguh
malu mendengar orang-orang mematrikan
stereotype pada negeri tercinta ini. “Negara gagal,” “negeri autopilot,”
“negara korporatokrat,” “negeri para bandit,” “negara para maling,” dan entah
sebutan apalagi. Andai Bung Karno hidup kembali, dia akan marah besar karena
negerinya amburadul justru oleh kelakuan anak bangsanya sendiri. Bung Karno
betul, hidup kita sekarang lebih sulit bahkan teramat sulit dibandingkan dengan
masa dulu sebelum merdeka. Bukan karena kita harus bertarung dengan senapan dan
pelatuk para penjajah, melainkan kita harus berhadapan dengan sesama anak
negeri yang berkhianat menjadi para penjarah.
Saya yakin,
Indonesia adalah bangsa besar. Kekayaan alamnya masih melimpah meski sudah
dikuras habis-habisan. Tanahnya tetap subur meski mulai digantikan
gedung-gedung pencakar langit. Hutannya tetap menjadi rumah perlindungan meski
para pembalak liar terus-menerus menebang pepohonan yang ada di dalamnya.
Lautnya setia menjadi sumber penghidupan meski tangan-tangan tak bertanggung
jawab saban hari merusak karang dan ekosistemnya. Seandainya kita dapat
bersahabat dengannya, kita tidak perlu repot-repot mencukupi kebutuhan hidup.
Seperti Bung Karno pernah singgung, “...semua negara besar dunia (akan) iri
dengan Indonesia.”
Sekarang
kebesaran Indonesia itu telah mengundang negara-negara lain untuk datang,
melihat, mengintip dan melahap bahkan memperkosa kekayaan di dalamnya. Banjir
investasi asing terjadi hampir di semua sektor. Contoh paling telanjang ada di
bidang minyak, gas, dan pertambangan. 95 persen sektor migas dikuasai korporasi
asing, pertambangan 90 persen, yang lain anda hitung sendiri. Ironis! Bangsanya
besar, omongnya besar! Tanahnya subur,
impornya menjamur ! Impor beras! Impor garam! Impor daging! Impor agama! yang
terakhir kita impor dari timur tengah. Huuhh..Sebuah bangsa besar ternyata
tidak serta merta bisa mengolah karunia Tuhan yang diberikan kepadanya.
Padahal kita yakin,
penduduk kita yang lebih dari 250 juta jiwa itu tidak mungkin goblok semua.
Mentallah akar masalanya. Kita bangsa besar tapi mentalnya mental tempe. Kita
lebih suka makan keju hasil mengutang daripada makan singkong hasil menanam
sendiri. Kita lebih sudi angkut bahan-bahan mentah ke negara lain kemudian
menikmatinya setelah barang jadi, meski lebih mahal berkali-kali lipat. Kita
lebih senang bekerja untuk perusahaan-perusahaan asing karena lebih bisa
memanjakan diri daripada bersusah payah tapi merdeka mengolah kekayaan kita.
Kita lebih rela menjadi budak di tanah sendiri.
Bung Karno,
Anda pernah mengatakan, “beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncang dunia.”
Sekarang, bagunlah, Bung lihat, jutaan pemuda pun tidak cukup mengangkat negeri
ke zaman gilang-gemilang. Bung harus merevisi kata-kata bung itu! Memang banyak
pemuda hebat tapi mereka sibuk bekerja untuk diri sendiri, membangun
kerajaannya sendiri, dan membangun surganya sendiri. Yang lain malah sibuk
mengumbar tubuh dan syahwat. Tak peduli nilai-nilai agama runtuh, tak peduli
etika dan adat lenyap, tak peduli otak anak-anak dan remaja konslet. Pemuda
yang Bung maksud kini lebih suka hiburan daripada berkorban demi kemanusiaan.
Memang, tidak
terkira juga jumlah pemuda yang teriak anti-imperialisme. Sayang, setelah
berhasil menaiki kursi jabatan, mereka mengidap amnesia akut bahkan balik
memeras si empunya kursi, yaitu rakyat. Mereka sibuk menumpuk harta, utamanya
untuk diri sendiri, keluarga dan kroni-kroninya. Sebagian mencoleng, mencopet,
dan mencuri uang negara tanpa rasa malu dan secara elegan memampang senyum
manis di depan kamera. Bagaimana mereka akan mengguncang dunia, untuk menambah
pundi-pundi dan kemewahan mereka saja tidak cukup satu kali masa jabatan;
bagaimana mereka disegani masyarakat sejagat jika di negerinya sendiri mereka
menjadi benalu kemajuan.
Namun, jika
sepuluh pemuda itu adalah pemuda yang membuat negara bodoh dan memalukan, bisa
dideret contoh sedemikian panjang. Cukup dengan Gayus Tambunan, kasus tukang
tilep di jagat perpajakan terkenal menerobos media Internasional. Cukup dengan
Nazarudin, operasi sistemik korupsi tersohor ke seantero bumi. Cukup pula
dengan aktivis-aktivis 98 yang berbondong-bondong masuk parlemen/kabinet,
kemudian menjadi politisi keras kepala dan tameng partainya masing-masing.
Memang, yang ini tidak mengguncang dunia, tapi sudah pasti mengguncang hati
nurani rakyat.
Bung Karno,
kita mengerti, kata-kata Bung soal pemuda itu untuk membangkitkan semangat dan
harapan. Namun kini, harapan itu mati! Penyambung lidah rakyat, redup, bisu dan
padam. Semua tergantung situasi politik. Saat menguntungkan, mereka lantang
sampai urat leher hendak putus, tapi, jika kalkulasi politik merugikan, mereka
teguh pada pepatah: diam itu emas.
Betul, Bung
telah katakan, “barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang
dalam.” Tapi bagi pemuda sekarang, mutiara itu adalah kenikmatan duniawi
semacam harta, popularitas dan jabatan. Jalannya bukan dengan berani berkorban
demi negara tercinta tetapi bekerja keras membangun relasi dan merebut simpati
demi kekuasaan. Karena dengan berkuasa semua mudah dikendalikan, termasuk
mengatur lalu lintas uang pemasukan.
Andai Bung
hidup lagi, dijamin geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah polah para pemuda
semacam itu. Tak menyangka negeri yang dulu dihuni para sejawatnya yang
sederhana kini dipenuhi para politisi parlente, penuh gaya dan haus kedudukan.
Semua dibungkus bukan oleh ideologi melainkan imagologi. Demi citra semua
dilakukan. Lembaga, media, bahkan rakyat dijadikan mesin-mesin politik yang
tujuannya hanya satu: penguasaan opini publik.
Bung, Anda
sendiri mengatakan, persatuan obat mujarab kehancuran. Artinya, semua orang
yang mengaku Indonesia, entah dari mana asalnya, etniknya, agamanya, partainya,
atau kelompok sosialnya, dia harus tunduk pada doktrin: Bhineka Tunggal Ika.
Baju boleh beda tapi jiwa harus tetap sama: satu bangsa.
Tapi, seperti
Bung katakan, “kita masih hidup dimasa pancaroba,” gampang terjangkiti penyakit
fragmentasi. Bangsa yang susah payah dibangun malah menjadi arena adu jotos
kepentingan. Kelompok-kelompok bermunculan memecah imajinasi sebagai sebuah
bangsa. Berbagai kelompok sibuk menghitung kontribusinya, sembari alpa akan
peran kelompok lainnya. Konon, bagi kelompok yang satu, bangsa berdiri berkat
kelompoknya, bukan kelompok yang lain. Kelompok bahlul ini tidak mengerti bahwa
Bhineka Tunggal Ika berakar pada keikhlasan setiap kelompok untuk
mengenyampingkan sebagian kepentingannya demi kepentingan yang lebih besar,
yaitu kesatuan bangsa.
Tentu,
sebagai anak bangsa, kita harus menjaga jangan sampai bangsa ini bangkrut.
Semua entitas bangsa harus menyadari bahwa semua perjuangan harus ditujukan
untuk kemakmuran rakyat. “Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa
dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan
kita belum selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak
keringat,” begitu kata Bung Karno.
Dan, andai
Bung Karno hidup kembali, dijamin sedih bukan kepalang, karena tangis di
gubuk-gubuk itu masih terdengar nyaring, nyata dan kasat di mata.
14 Dulzaidah 1437 H / 17 Agustus 2016
0 komentar:
Posting Komentar