Oleh : Muh Nuur Rohmaan [1]
Salah satu tantangan teologis kaum
beriman (ummat beragama) dalam konteks kebhinekaan agama-agama (religious
plurality) adalah bagaimana mendefinisikan identitas keagamaan sendiri di
tengah-tengah lingkungannya. Ada banyak problem teologis dalam mendefinisikan
identitas suatu agama di tengah lingkungan yang plural-religius. Diantaranya
adalah problem teologis yang disebut oleh Hugh Goddard sebagai cara pandang keagamaan
standar ganda (double standards), yaitu menilai identitas agama sendiri dengan
standar idealitas normatif-teks keagamaan (kitab suci), sementara menilai agama
lain berdasarkan realitas historis-kritis.
Menurut Arthur J. D’Adamo, setiap teks-keagamaan selalu mengklaim sebagai yang lebih konsisten dan penuh dengan kebenaran—tanpa kesalahan sama sekali; lengkap dan final—sehingga tidak ada, dan tidak membutuhkan lagi agama lain; mengklaim sebagai satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebasan; serta mengklaim sebagai yang memiliki kebenaran paling otentik bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu, jika idealitas normatif-teks keagamaan tersebut dijadikan standar penilaian untuk mendefinisikan suatu agama, maka seluruh agama akan mengklaim sebagai yang paling konsisten dan penuh dengan kebenaran, lengkap dan final, satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebasan, serta mengklaim sebagai yang paling otentik bersumber dari Tuhan.
Menurut Arthur J. D’Adamo, setiap teks-keagamaan selalu mengklaim sebagai yang lebih konsisten dan penuh dengan kebenaran—tanpa kesalahan sama sekali; lengkap dan final—sehingga tidak ada, dan tidak membutuhkan lagi agama lain; mengklaim sebagai satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebasan; serta mengklaim sebagai yang memiliki kebenaran paling otentik bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu, jika idealitas normatif-teks keagamaan tersebut dijadikan standar penilaian untuk mendefinisikan suatu agama, maka seluruh agama akan mengklaim sebagai yang paling konsisten dan penuh dengan kebenaran, lengkap dan final, satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebasan, serta mengklaim sebagai yang paling otentik bersumber dari Tuhan.
Berbeda
dengan penilaian suatu agama yang didasarkan pada historis-kritis yang selalu
mengandaikan adanya reduksi, distorsi dan penyimpangan iman serta doktrin
ajarannya. Sebab ketika suatu agama memasuki wilayah historis-empiris
(menyejarah), maka agama tidak akan dapat menghindar dari konstruksi nalar
manusia sesuai dengan lokalitas budaya, kepentingan politik dan idiologis serta
perkembangan peradaban zamannya. Sehingga ketika paradigma historis-kritis
tersebut dijadikan dasar bagi standar penilaian suatu agama, maka hipotesisnya
akan berbalik bahwa agama lain tidak konsisten, penuh dengan kesalahan, tidak
lengkap dan tidak final serta bukan berasal dari Tuhan, melainkan hanya produk
konstruksi nalar manusia (human reason construction) atau mungkin bersumber
dari Tuhan, tetapi dalam pembentukan iman dan doktrin ajarannya dalam sejarah,
telah mengalami banyak distorsi, penyimpangan dan pengrusakan.
Implikasi teologis dari cara pandang keagamaan double standards tersebut adalah munculnya sikap klaim kebenaran (truth claim) dari setiap penganut agama, bahwa agamanyalah yang paling sejati (terbenar) serta satu-satunya jalan keselamatan, pembebasan dan pencerahan, sementara agama lain adalah salah—atau dalam bahasa agama—merupakan “agama yang tidak mendapat perkenan (ridha) Tuhan atau jalan kesesatan (kafir)”. Suatu cara pandang teologis yang disebut oleh Ninian Smart sebagai cara pandang keagamaan ekslusivisme absolut (absoluty exluvism). Pandangan teologis ekslusivisme absolut inilah yang selama ini mendasari hampir seluruh konstruksi dan formasi nalar keagamaan, baik nalar epistemologis, nalar etika maupun nalar politik keagamaannya. Melalui nalar epistemologi keagamaan, lahir karya-karya tafsir, kompilasi doktrin dan keputusan-keputusan hukum (fatwa) keagamaan yang membenci orang lain agama (the religious other). Dalam nalar etika, terutama yang berdimensi social-ethics (etika sosial), cara pandang teologis tersebut, memberikan implikasi etis dalam hubungan sosial antar ummat beragama, berupa perlakuan tidak adil, diskriminatif dan ketidakramahan terhadap orang yang berbeda agama. Sementara dalam nalar politik-keagamaannya, orientasi dan produksi kekuasaan selalu di arahkan untuk hegemoni terhadap penganutan agama lain.
Implikasi teologis dari cara pandang keagamaan double standards tersebut adalah munculnya sikap klaim kebenaran (truth claim) dari setiap penganut agama, bahwa agamanyalah yang paling sejati (terbenar) serta satu-satunya jalan keselamatan, pembebasan dan pencerahan, sementara agama lain adalah salah—atau dalam bahasa agama—merupakan “agama yang tidak mendapat perkenan (ridha) Tuhan atau jalan kesesatan (kafir)”. Suatu cara pandang teologis yang disebut oleh Ninian Smart sebagai cara pandang keagamaan ekslusivisme absolut (absoluty exluvism). Pandangan teologis ekslusivisme absolut inilah yang selama ini mendasari hampir seluruh konstruksi dan formasi nalar keagamaan, baik nalar epistemologis, nalar etika maupun nalar politik keagamaannya. Melalui nalar epistemologi keagamaan, lahir karya-karya tafsir, kompilasi doktrin dan keputusan-keputusan hukum (fatwa) keagamaan yang membenci orang lain agama (the religious other). Dalam nalar etika, terutama yang berdimensi social-ethics (etika sosial), cara pandang teologis tersebut, memberikan implikasi etis dalam hubungan sosial antar ummat beragama, berupa perlakuan tidak adil, diskriminatif dan ketidakramahan terhadap orang yang berbeda agama. Sementara dalam nalar politik-keagamaannya, orientasi dan produksi kekuasaan selalu di arahkan untuk hegemoni terhadap penganutan agama lain.
Dalam
perkembangannya, nalar epistemologi kebencian, nalar etika ketidakramahan dan
nalar politik keagamaan hegemonistik ini, menjadi doktrin ajaran yang taken for
granted (diterima apa adanya) dan terus-menerus ditransmisikan dari generasi ke
generasi hingga membentuk suatu tradisi keagamaan yang membenci agama lain.
Tradisi keagamaan-kebencian inilah yang selama ini menjadi akar kekerasan dalam
agama, konflik sosial-politik, kerusuhan, pembunuhan bahkan perpecahan dan
peperangan atas nama Tuhan dalam lingkungan internal ummat beragama
(intra-religius) dan terlebih di lingkungan antar ummat beragama. Hal ini
berdampak pada hubungan sosial antar ummat beragama yang tidak harmonis, saling
“mencurigai” serta munculnya berbagai ketegangan psikologis, sosiologis,
politis, kultural, dan bahkan benturan peradaban (clash civilization), seperti
fenomena aktual yang terjadi dewasa ini antara Islam dan Barat (Kristen).
Tradisi
keagamaan ini juga yang selama berabad-abad telah banyak meminta korban jiwa,
keluarga dan kehormatan, serta meninggalkan berbagai bentuk tragedi
kemanusiaan.
Problem
Metodologis dalam Penafsiran Teks Kitab Suci
Persoalannya adalah mengapa terjadi di dalam dan di tengah-tengah kaum beriman (ummat beragama)? Jawaban hipotesisnya adalah akan kembali kepada teks-teks kitab suci dan tradisi agama bersangkutan yang menjadi sumber otentik dan rujukan keagamaannya. Sebab yang menjadi akar dari segala persoalan di atas adalah kembali kepada masalah penafsiran teks kitab suci. Dalam kerangka ini, setidaknya terdapat beberapa kemungkinan kenapa problem teologis dalam mendefinisikan identitas suatu agama di tengah-tengah kebhinekaan agama-agama (religious plurality) ini, melahirkan sikap ekslusivisme absolut dan menjadi sumber ketidakadilan, diskriminatif dan ketidakramahan. Kemungkinan pertama, komunitas agama (religious community) tertentu salah dalam menerapkan tafsir otentik teks kitab sucinya. Artinya, mungkin penafsirannya otentik dan benar, tetapi dalam penerapannya salah (misalnya, karena masuknya kepentingan politik, ekonomi, kelompok, golongan atau organisasi dalam implementasinya). Kemungkinan kedua, komunitas agama tertentu tidak otentik dan salah dalam menafsirkan teks kitab sucinya.
Persoalannya adalah mengapa terjadi di dalam dan di tengah-tengah kaum beriman (ummat beragama)? Jawaban hipotesisnya adalah akan kembali kepada teks-teks kitab suci dan tradisi agama bersangkutan yang menjadi sumber otentik dan rujukan keagamaannya. Sebab yang menjadi akar dari segala persoalan di atas adalah kembali kepada masalah penafsiran teks kitab suci. Dalam kerangka ini, setidaknya terdapat beberapa kemungkinan kenapa problem teologis dalam mendefinisikan identitas suatu agama di tengah-tengah kebhinekaan agama-agama (religious plurality) ini, melahirkan sikap ekslusivisme absolut dan menjadi sumber ketidakadilan, diskriminatif dan ketidakramahan. Kemungkinan pertama, komunitas agama (religious community) tertentu salah dalam menerapkan tafsir otentik teks kitab sucinya. Artinya, mungkin penafsirannya otentik dan benar, tetapi dalam penerapannya salah (misalnya, karena masuknya kepentingan politik, ekonomi, kelompok, golongan atau organisasi dalam implementasinya). Kemungkinan kedua, komunitas agama tertentu tidak otentik dan salah dalam menafsirkan teks kitab sucinya.
Kemungkinan
kedua ini dikarenakan beberapa alasan, yaitu (1) teks kitab suci sendiri
mengandung ambiguitas pemahaman (di satu sisi banyak memuat teks-teks yang
mengajarkan kedamaian dan keramahan kepada orang lain agama, tetapi, di sisi
lain, memuat teks-teks yang memerintahkan perang atas nama Tuhan dan larangan
pertemanan serta “teks-teks yang membenci” orang lain agama. Begitu juga, di
sejumlah tempat, banyak memuat teks-teks toleran dan inklusif dalam bearagama,
tetapi di tempat yang lainnya, memuat teks-teks yang seringkali mengarah kepada
sikap ekslusive dan intoleran); (2) adanya stigma sejarah akibat terjadinya
peristiwa benturan politik-keagamaan (religio-politik), serta tradisi keagamaan
kebencian yang memberikan bias dalam penafsiran; dan (3) karena
ketidakmemadaian metodologis dalam menafsirkan teks kitab sucinya.
Pada
tahap sejarah tertentu, teks-teks ambigu di atas cenderung dibaca dalam
perspektif (metodologi) domain keimanan dan sektarian, sehingga bukan saja
secara teologis melahirkan monopoli kebenaran dan nikmat keselamatan
eskatologis (di akhirat) bagi kelompoknya, melainkan juga secara sosiologis
melahirkan peminggiran (marginalitas) kaum bariman lainnya yang berbeda. Oleh
karena itu, kekerasan dan konflik antar ummat beragama serta sikap “saling
curiga”, tidak ramah, intoleran, ekslusif dan bahkan perang atas nama Tuhan
sebagaimana digambarkan di atas, tidak dapat dihindarkan.Hermeneutika Kebhinekaan
Dalam kerangka memahami teks-teks yang cenderung ambiguitas inilah, maka diperlukan pembacaan hermeneutis baru yang lebih inklusif, ramah dan membebaskan. Pembacaan hermeneutika kebhinekaan yang ditawarkan di sini adalah melalui empat tahap eksplanasi, yaitu hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion), hermeneutika pemulihan kembali (hermeneutics of retrieval) atau hermeneutika permakluman (hermeneutics of proclamation), hermeneutika pengenangan (hermeneutics of remembrance) atau rekonstruksi historis dan pendekatan hermeneutika perwujudan kreatif (hermeneutics of creative actualization).
Melalui pendekatan hermeneutika kebhinekan ini, pertama-tama teks kitab suci (Al-Quran) tentang kebhikaan (pluralisme) agama, dibaca dengan sikap kritis melalui hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion). Hermeneutika ini bertolak dari dua fakta, yaitu pertama, bahwa Al-Quran diturunkan dalam konteks kebhinekaan agama dan pertentangan religio-idiologis antara Islam dengan Yahudi dan Kristen (nashrani). Pertentangan religio-idiologis tersebut memberikan kesadaran akan keragaman agama-agama dan menjadi masalah teologis terpenting bagi Muhammad Saw. Dalam konteks ini, Al-Quran dimungkinkan banyak memuat teks-teks yang dipahami cenderung membenci dan tidak ramah terhadap orang lain agama (penganut agama Yahudi dan Kristen). Misalnya, QS. al-Baqarah [2]: 120; al-Maidah [5]: 51; Ali Imran [3]: 28 dan 118; al-Nisa’ [4]: 144; al-Taubah [9]: 5, 29 dan 36.
Dalam kerangka memahami teks-teks yang cenderung ambiguitas inilah, maka diperlukan pembacaan hermeneutis baru yang lebih inklusif, ramah dan membebaskan. Pembacaan hermeneutika kebhinekaan yang ditawarkan di sini adalah melalui empat tahap eksplanasi, yaitu hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion), hermeneutika pemulihan kembali (hermeneutics of retrieval) atau hermeneutika permakluman (hermeneutics of proclamation), hermeneutika pengenangan (hermeneutics of remembrance) atau rekonstruksi historis dan pendekatan hermeneutika perwujudan kreatif (hermeneutics of creative actualization).
Melalui pendekatan hermeneutika kebhinekan ini, pertama-tama teks kitab suci (Al-Quran) tentang kebhikaan (pluralisme) agama, dibaca dengan sikap kritis melalui hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion). Hermeneutika ini bertolak dari dua fakta, yaitu pertama, bahwa Al-Quran diturunkan dalam konteks kebhinekaan agama dan pertentangan religio-idiologis antara Islam dengan Yahudi dan Kristen (nashrani). Pertentangan religio-idiologis tersebut memberikan kesadaran akan keragaman agama-agama dan menjadi masalah teologis terpenting bagi Muhammad Saw. Dalam konteks ini, Al-Quran dimungkinkan banyak memuat teks-teks yang dipahami cenderung membenci dan tidak ramah terhadap orang lain agama (penganut agama Yahudi dan Kristen). Misalnya, QS. al-Baqarah [2]: 120; al-Maidah [5]: 51; Ali Imran [3]: 28 dan 118; al-Nisa’ [4]: 144; al-Taubah [9]: 5, 29 dan 36.
Kedua,
fakta adanya tradisi tafsir kebencian dan tidak ramah terhadap orang lain agama
yang ditransmisikan dari generasi ke generasi hingga sekarang. Kedua fakta
tersebut, harus dibaca dengan sikap “curiga” agar tidak tertipu oleh sistem
tanda atau struktur gramatika bahasa yang ada dipermukaan, sehingga mengaburkan
makna yang lebih obyektif (spirit teksnya). Selain itu, hermeneutika kecurigaan
juga akan menghindarkan penafsir, dari kemungkinan penyalahgunaan penafsiran
akibat tradisi kebencian dan ketidakramahan, sehingga dapat memunculkan ide
pembebasan, inklusivitas dan toleransi dari teks yang dianggap dan dipahami
membenci dan tidak ramah tersebut.
Langkah
kedua adalah membaca, memaknai dan menafsirkan teks Kitab Suci tentang
kebhinekaan agama melalui hermeneutika pemulihan kembali (hermeneutics of
retrieval) atau hermeneutika permakluman (hermeneutics of proclamation).
Melalui pembacaan hermeneutika pemulihan ini, teks yang cenderung tidak ramah
harus dipahami dan diberi penjelasan yang seimbang. Sebaliknya, teks yang
mengandung ide pembebasan, inklusivitas, keramahan, toleransi dan kesetaraan
kaum beriman (teks plural), perlu mendapat perhatian dan penjelasan lebih
besar. Tujuannya adalah mengungkapkan ide-ide pluralisme Al-Quran dalam
membangun kesetaraan kaum beriman, keadilan, perdamaian dan keutuhan lingkungan.
Langkah
ketiga adalah rekonstruksi historis atau pembacaan teks melalui pendekatan
hermeneutika pengenangan (hermeneutics of remembrance). Hermeneutika ini, tidak
menghapus teks-teks yang tidak ramah atau yang membenci agama lain, tetapi
memahaminya dalam konsteks historis sebagai suatu perjuangan melawan
ketidakadilan. Jadi, hermeneutika pengenangan berusaha merekonstruksi teks yang
tidak ramah menjadi suatu pola baru dalam perwujudan etika kebinekaan, keadilan
dan kesetaraan.
Langkah
keempat adalah pembacaan hermeneutika perwujudan kreatif (hermeneutics of
creative actualization). Tujuan hermeneutika ini adalah mengangkat peran-peran
(tokoh teladan) yang pluralis dalam teks Kitab Suci untuk aktualisasi teks-teks
ramah dan inklusif pada masa sekarang.
Melalui empat langkah pembacaan hermeneutis di atas, diharapkan dapat meletakkan arah baru bagi hermeneutika kebhinekaan yang inklusif dan membebaskan, serta memberikan sumbangan bagi pengembangan teologi agama-agama (teologia religionum) yang berwawasan kedamaian, kerahmatan, egalitarian dan berkeadilan.
Melalui empat langkah pembacaan hermeneutis di atas, diharapkan dapat meletakkan arah baru bagi hermeneutika kebhinekaan yang inklusif dan membebaskan, serta memberikan sumbangan bagi pengembangan teologi agama-agama (teologia religionum) yang berwawasan kedamaian, kerahmatan, egalitarian dan berkeadilan.
0 komentar:
Posting Komentar