Selama periode berjalan terlihat identitas Islam secara
kasat mata jarang terdengar gaungan aspirasi mahasiswa terhadap kitab suci yang
menjadi referensi utama bagi kehidupan. Apa itu menandakan bahwa mahasiswa
jengah atau malah tak mengenal sama sekali?
Akhir-akhir ini peran mahasiswa
Indonesia pada dimensi keagamaan masih kurang dibuktikan dengan survey salah
satu kampus ternama di Yogyakarta. Data menyajikan bahwa sekitar 70% mahasiswa
dan mahasiswinya masih jauh dari bidang keagamaan. Perihal tauhid, fiqh dan
akhlaq masih menjadi persoalan nyata dalam kehidupan akademis. Adapun kebenaran
pendidikan agama dalam dunia kampus masih perlu diluruskan sehingga mahasiswa
tidak salah menangkap teori atau praktik yang diajarkan. Apalagi yang menjadi
sorotan nyata mereka bisa dengan mudah mengemukakan pendapat tanpa menggunakan
dalil (alasan) yang bisa dipertanggung jawabkan. Sebut saja rujukan dalil itu
dua pedoman yang Rasulullah SAW wasiatkan kepada umatnya yaitu Al Qur’an dan Al
Hadits.
Banyak cerita jika berbicara tentang
mahasiswa dipandang dari perspektif apapun. Mereka sudah merasa keyakinannya
terhadap Islam sudah sempurna, menjadikan logika mereka sebagai pola utama
untuk mensyiarkan agama. Berangkat dari sana melahirkan banyaknya komunitas
atau organisasi-organisasi salah kaprah yang seharusnya meluruskan aqidah
nyatanya malah melenceng dari aqidah yang sesungguhnya. Ini karena dangkalnya
pemahaman mereka terhadap Islam, mereka hanya menilai Islam dari labelnya saja
sedangkan kandungan Islam sendiri yang terangkum dalam rujukan Al Qur’an dan Al
Hadits tidak mereka kaji. Jangankan untuk mengkaji maknanya setidaknya masih
banyak kalangan mahasiswa yang belum bisa membaca Al Qur’an. Segelintir
mahasiswa yang hanya mengejar nilai akademis dan style saja punya pemikiran
bahwa membaca Al Qur’an dengan asal-asalan saja sudah punya poin pahala, jadi
tak perlulah kita bersusah payah mengkaji Al Qur’an.
Misalnya, terdapat kebijakakn
akademis bahwa mahasiswa yang tidak mengikuti ujian BTAQ tidak bisa mengikuti
KKN pada waktunya. Memang jika kita melihat dari sisi kemashlahatan kebijakan
akademis tersebut mengajarkan mahasiswa agar tidak melupakan apalagi
meninggalkan referensi utama dalam kehidupan. Dari sini kita bisa melihat
rating mahasiswa yang tidak bisa membaca dan menulis Al Qur’an yang posisinya
lebih tinggi dibanding para mahasiswa yang sudah bisa membaca Al Qur’an.
Pada masanya, waktu sesekali tampak
sibuk hingga larut mengindikasikan banyaknya aktivitas yang dibuat oleh para
mahasiswa. Sayang, sibuknya waktu yang digunakan mahasiswa kerap kali
meninggalkan kewajiban untuk membaca Al Qur’an. Apa tak pernah terbersit
sekilas untuk sekadar kondisi mahasiswa lain diluar organisasi atau mungkin
saja berkiprah di organisasi, mereka masih bisa mengatur waktu untuk membaca
dan mengkaji Al Qur’an.
Ironisnya, sekali ada acara kampus
berkonsep konser band atau parodi bergaya hiburan mahasiswa rela merogoh uang
saku hanya untuk mendapatkan tiketnya yang bisa terbilang uang saku itu bisa
dipakai untuk kegiatan yang lebih produktif. Hiburan boleh saja sesekali tapi
dengan syarat apa-apa yang menjadi kebutuhan sudah terpenuhi. Dalam konsep
ekonomi Islam sudah dijelaskan bahwa Islam memaksimalkan nilai mashlahah (M)
dengan cara mencari nilai manfaat (F) dan berkah (B). Dengan begitu mahasiswa
akan mengedepankan konsep terpenuhinya kebutuhan terlebih dahulu sebelum sampai
pada memenuhi sebuah keinginan. Dalam hal ini, mengkaji Al Qur’an adalah nilai
suatu kebutuhan dan suatu hiburan merupakan nilai suatu keinginan. Jika kita merujuk
pada konsep Islam, maka kita akan bisa merasakan nilai mengkaji Al Qur’an bisa
mendatangkan mashlahah yang pada hakikatnya hukum kausalitas berlaku. Selain
banyak manfaat yang didapatkan dari mengkaji Al Qur’an, kita juga bisa
mendapatkan nilai berkah dari kegiatan tersebut.
Sebenarnya, semua kalangan mahasiswa
bisa melakukan semua itu jika konsep manajerial waktunya bisa ditata dengan
baik. Mereka bisa membagi waktu antara akademik, organisasi (bagi yang
berkiprah di organisasi), dan juga kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Seberapa peduli mahasiswa dalam aturan waktu mereka? Seberapa peduli mahasiswa
dengan masa depan mereka (orientasi di dunia dan falah di akhirat)? Jika paham
dan peduli, kenapa hanya kegiatan akademis dan organisasi saja yang mereka
pentingkan?
Selama periode berjalan, jarang
terdengar gaungan aspirasi mahasiswa terhadap kemajuan generasi muda Islam. Apa
itu menandakan bahwa mahasiswa tidak bisa berfikir lagi produktif dan lebih
asyik dengan lingkar logikanya? Yang terdengar hanyalah umbaran peran mahasiswa
yaitu agent of change, social control dan iron stock. Meyakini
bahwa peran mahasiswa dalam kiprahnya dibidang akademis dan organisasi belum
memenuhi perannya sebagai mahasiswa sesungguhnya. Setidaknya mahasiswa harus
selalu berproses melangkahkan kakinya untuk menjadi pemimpin dan penerus
estafet perjuangan dari generasi sebelumnya dengan cara memasyarakatkan Al
Qur’an dan meng-Qur’ankan masyarakat.
Imam Ghazali berpesan : “carilah
hatimu dalam tiga tempat yaitu cari hatimu sewaktu membaca Al Qur’an, jika
tidak kau temui carilah hatimu ketika mengerjakan shalat, jika tidak kau temui
juga carilah hatimu ketika kau duduk bertafakur mengingat mati. Jika tidak kau
temui juga maka berdo’alah pada Allah, mintalah hati yang baru karena pada
hakikatnnya pada saat itu kau tidak lagi mempunyai hati”.
Widiaturrahmi (KMNU UII-Prodi Ekonomi Islam '13)
0 komentar:
Posting Komentar