TERJEMAHAN

Kamis, 09 Juli 2015

Makhsud Islam Nusantara

Oleh : KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag.

Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini
mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar
ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan
sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin adalah
karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan
keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada
yang satu (sama) yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena
perbedaan pandangan semata, tetapi lebih karena
apa yang dipandang itu berbeda. Tulisan singkat ini
mungkin menjadi jawaban bagi mereka yang
menolak “Islam Nusantara” menurut apa yang saya
pahami dan saya maksudkan dengan istilah
tersebut.
Alquran dan as-Sunnah sebagai sumber utama
Agama Islam memuat tiga ajaran. Pertama, ajaran
akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan
dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf
menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para
utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan.
Kedua, ajaran akhlak/tasawwuf, yaitu ajaran yang
berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan
jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan
menghiasinya dengan sifat terpuji. Ketiga, ajaran
syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam
al-‘amaliah) yang mengatur perilaku dan tingkah
laku mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan,
transaksi, dan seterusnya. Yang pertama dan
kedua sifatnya universal dan statis, tidak
mengalami perubahan di manapun dan kapanpun.
Tentang keimanan kepada Allah dan hari akhir tidak
berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara
orang-orang benua Amerika dengan benua Asia.
Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran
adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak
berbeda antara orang Indonesia dengan orang
Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan
kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan
moral ini, Islam tidak bisa diembel-embeli dengan
nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.
Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at,
masih harus dipilah antara yangtsawābith/
qath’iyyāt dan ijtihādiyyāt. Hukum-hukum
qath’iyyāt seperti kewajiban salat lima kali sehari
semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina,
tata cara ritual haji, belum dan tidak akan
mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan
tempatnya berubah. Salatnya orang Eropa tidak
berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari
dahulu hingga kiamat dan di negeri manapun,
dimulai semenjak subuh dan berakhir saat
kumandang azan magrib. Penjelasan Alquran dan
Alsunnah dalam hukum qath’iyyāt ini cukup rinci,
detail, dan sempurna demi menutup peluang kreasi
akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan
mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali
antara Safa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu
akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-
hukum qath’iyyāt tersebut.
Sementara itu, hukum-hukum ijtihādiyyāt bersifat
dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan
kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan
kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu
boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa
jadi boleh. Alquran dan Alsunnah menjelaskan
hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan
mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali
merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad
supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan
lingkungan sosial.
Para tābi’īn berpendapat bahwa boleh menetapkan
harga (tas’īr), padahal Nabi Muhammad saw
melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi
Alsunnah. Perbedaan putusan itu karena kondisi
pasar yang berubah, yaitu bahwa pada masa Nabi
harga melambung naik karena kelangkaan barang
dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada
masa tabi’in disebabkan keserakahan pedagang.[1]
Di sini, para tābi’īn membedakan antara—apa yang
disebut ekonomi modern dengan—pasar persaingan
sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli
misalnya. Paratābi’īn juga memfatwakan larangan
keluar menuju masjid untuk perempuan muda
karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-
laki berandal yang sering usil hingga berbuat jahil,
[2]padahal Nabi sendiri bersabda—seperti dalam
riwayat Abu Daud[3]—supaya jangan sampai
perempuan dilarang keluar menuju masjid.
Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah
dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis,
seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam
Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak
lain adalah pemahaman, pengamalan, dan
penerapan Islam dalam segmen fiqh mu’amalah
sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan
‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam
istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci
terhadap bangsa dan budaya negara manapun,
apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai
tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi
bahasa al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI
misalnya, saya benar-benar yakin kalau anggota
FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan
pembela Islam.
[1] Nail al-authār, V, 220.
[2] Al-Muntaqā Syarḥ al-Muhażżab, I, 342.
[3] ﻻ ﺗﻤﻨﻌﻮﺍ ﺍﻣﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺴﺎﺟﺪ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻟﻜﻦ ﻟﻴﺨﺮﺟﻦ ﺗﻔﻼﺕ .
ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ .

0 komentar:

Posting Komentar