TERJEMAHAN

Kamis, 17 Mei 2018

Indonesia dalam Krisis Kepatuhan Hukum

Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk prilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama.
Namun kalau dilihat secara materiil, yang di dalam hukum pembuktian pidana selalu berpegang pada kebenaran yang senyatanya terjadi yang dalam hal ini disebut dengan kebenaran materiil, ternyata sungguh sulit membangun budaya hukum materiil di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku.
Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan judex factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.
Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu ?.
Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.
Perlu Penulis tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh pada hukum ( antara das sein dengan das sollen dalam fakta adalah sama) .
Secara a contra-rio jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara tuntutan kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap “kepentingan pribadinya”, setia dan patuh pada atasan yang memerintahkan berperang dan membunuh atau setia kepada hati nuraninya yang mengatakan bahwa membunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum seperti yang sering terjadi masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main hakim sendiri (eigen rechting) karena mereka lebih mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya, dll.
Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum.
Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik (eigen rechting). Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan buadaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang berduit, dan berkuasa. Quo Vadis Penegakan Hukum Indonesia.

Selasa, 20 Juni 2017

Presidential Threshold : Untung dan Rugi dalam Kotestasi Demokrasi di Indonesia


Oleh : Muhammad Nuur Rohmaan, S.H.

Presidential Threshold atau ambang batas pemilu di penghujung Ramadhan 1438 H agaknya menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan, pasalnya Pemerintah dan DPR sedang menyusun terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelengaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Presiden Joko Widodo menyatakan konsistensi pemeritah terhadap penerapan Presidential Threshold dalam penyusunan RUU tentang Pemilu 2019.. Menurut Presiden sebagaimana dikutip di CNN Indonesia bahwa Demokrasi Indonesia tidak akan bertumbuh apabila batas pencalonan presiden diturunkan bahkan dihapuskan. Hal ini berbeda dengan sikap sebagian Fraksi di DPR yang menghendaki dihapusnya Presidential Threshold didalam pemilu presiden 2019, sebagian lagi menghendaki bahwa nilai persentase Presidential Threshold diturunkan. Sikap DPR tersebut didasarkan atas amar putusan MK yang mengamanatkan bahwa pemilihan  DPR dan Presiden diselengarakan secara serentak, selain itu dengan diturunkannya nilai persentase Presidential Threshold menurut sebagian Fraksi di DPR  guna mengurangi batasan hak politik sehingga kedepannya lebih banyak tokoh yang ikut dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.
Presidential Threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik untuk dapat mengusung presiden dan wakil presiden dalam pemilu. Ketentuan Presidential Threshold di Indonesia diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang berbunyi :
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”

Terkait dengan Penyusunan RUU pemilu merupakan tugas dan kewajiban DPR dan Pemerintah  guna menyempurnakan pengaturan pemilu yang telah ada. Dalam pengaturan pemilu yang ada masih banyak ditemukan hal-hal yang sangat krusial untuk dibahas dan dilengkapi seperti pengaturan teknis penyelengaraan pemilu, pengaturan penyelesaian perselisihan pemilu antar parpol dan mengenai dampak dari amar putusan MK tentang penyelengaraan pemilu serentak. Berkaitan dengan amar putusan MK tersebut maka secara langsung menurut analisis penulis membatalkan sistem Presidential Threshold,
Presidential Threshold sebagai upaya proteksi memiliki kelebihan dan kekurangan yang oleh penulis diistilahkan dengan untung dan rugi, lalu lantas siapa yang rugi dan siapa yang untung ? Berdasarkan Pasal UUD 1945 yang untung dan rugi adalah Rakyat Indonesia, karena rakyatlah yang menjadi subyek dalam kontestasi Demokrasi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Secara teknis  Presidential Threshold memiliki keuntungan bagi rakyat karena dengan ketentuan semacam itu tidak sembarang orang mencalonkan sebagai presiden dan wakil presiden sebab mereka harus melalui  seleksi oleh partai politik dan kemungkinan besar jumlah calon yang ikut serta akan sedikit sehingga tidak membingungkan rakyat sebagai pemilih selain itu juga ongkos yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu sedikit jumlahnya.
Berbicara kerugian dari pelaksanaan Presidential Threshold menurut analisa penulis lebih banyak ditemukan. Hal tersebut karena didasarkan pada beberapa alasan yaitu, dibatasinya hak dipilih tentu saja hal ini bertetangan dengan Hak Asasu Manusia, Presidential Threshold berpotensi terjadi ketidakadilan yang dialami oleh rakyat, rakyat yang memiliki kedudukan politiklah yang dapat mencalonkan dirinya, selanjutnya pelaksanaan Presidential Threshold dimungkinkan terjadi beberapa kali putaran dalam pemilu sehingga berdampak pada cosh biaya yang tinggi dalam penyelenggaraan pemilu.
Dengan pertimbngan untung dan rugi harapannya Pemerintah dan DPR harapanya  dapat menyusun RUU Pemilu sesuai denga aspirasi rakyat dan tidak merugikan dan menyengsarakan rakyat karena sekali lagi UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan Republik Indonesia tertinggi adalah rakyat.